evident.or.id

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran dalam Secangkir Kopi

Published :

Section Title

No posts found.

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran dalam Secangkir Kopi

Kalau mau tahu ke mana arah ekonomi dan iklim Indonesia bergerak, jawabannya tidak selalu ada di ruang sidang atau trending topic media sosial. Kadang, secangkir kopi bisa menjadi cermin kecil dari perubahan besar yang sedang terjadi.

Indonesia adalah negeri kopi. Dari Banyuwangi sampai Gayo, dari kebun kecil di lereng gunung hingga kafe modern di Ibu Kota. Di balik aroma arabika yang kita nikmati setiap pagi, ada cerita yang lebih getir: hujan yang datang tak tentu, hama yang naik ke dataran lebih tinggi, dan petani yang makin sering bergulat dengan cuaca. Ketika panen terganggu, biaya produksi naik, harga biji melonjak—dan pada akhirnya, dampaknya terasa juga di meja kita, lewat harga kopi yang kian naik.

Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan; musim kemarau basah, cuaca ekstrem, bahkan heatwave sudah menjadi bagian dari keseharian. Di sektor kopi, Indonesia masih pemain besar—peringkat ke-4 dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia—namun produktivitas dan efisiensi di tingkat kebun masih tertinggal. Proyeksi produksi 2024/25 diperkirakan pulih ke kisaran 10,9–11,3 juta kantong (60 kg)[1], mayoritas robusta, setelah sempat turun pada 2023/24 akibat cuaca yang tidak menentu. Ini mengingatkan kita: rantai pasok kita sangat rentan terhadap perubahan iklim[2]

Satu tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi momen penting untuk menilai apakah ambisi “green economy” mulai menapak ke tanah, atau masih melayang sebagai niat baik.

Pemerintah memang mengambil langkah awal. Indonesia membuka kembali perdagangan karbon internasional setelah vakum empat tahun—langkah yang mengirimkan sinyal kesiapan untuk kembali ke arsitektur pembiayaan iklim global. Pada ajang Indonesia International Sustainability Forum 2025, pemerintah juga berhasil mengamankan komitmen investasi hijau sebesar USD 17,4 miliar, yang bila dijalankan dengan benar, bisa menopang proyek energi bersih dan ekonomi rendah karbon.[3]

Di sisi makroekonomi, laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) September 2025 menempatkan proyeksi pertumbuhan Indonesia 5,0% pada 2024 dan 4,9% pada 2025–2026, sebanding dengan China pada 2024–2025 dan sedikit lebih tinggi pada 2026 (China 4,4%)[4]. Dalam konteks ekonomi global yang melambat, posisi ini relatif kuat.

Langkah-langkah tersebut patut diapresiasi. Namun, seperti secangkir kopi yang harum di permukaan tapi menyisakan pahit di dasar, ambisi besar belum tentu langsung terasa di lapangan. Pasar karbon domestik sudah berdiri, tapi pergerakannya masih sepi. Aktivitasnya belum cukup kuat untuk mengalirkan manfaat nyata ke sektor riil, apalagi ke petani dan pelaku usaha kecil yang paling rentan terdampak iklim.

Ini adalah salah satu bagian tersulit: implementasi kebijakan. Tanpa arah yang jelas, transparansi pembagian manfaat, dan desain pembiayaan hijau yang betul-betul menjangkau pelaku usaha kecil, biaya transisi berisiko jatuh ke mereka yang paling sedikit suaranya: petani di hulu dan kelas menengah di kota. Mereka yang merasakan perubahan bukan lewat laporan resmi, tapi lewat harga pangan, udara yang berat dihirup, dan tagihan listrik yang pelan-pelan naik.

Satu tahun memang bukan waktu panjang, tapi cukup untuk membaca arah angin. Pemerintah sudah melangkah. Kini, tantangannya adalah memastikan langkah itu menjadi sistem yang benar-benar bekerja—bukan hanya kebijakan retoris.

Bagi kelas menengah dan petani yang memasok cangkir kita, ini bukan soal jargon “dekarbonisasi” atau “net-zero”. Ini soal harga listrik, harga pangan, kualitas udara, dan—iya—harga secangkir kopi yang nikmat di pagi hari.


[1]https://apps.fas.usda.gov/newgainapi/api/Report/DownloadReportByFileName?fileName=Coffee+Annual_Jakarta_Indonesia_ID2024-0016.pdf

[2] https://www.ipb.ac.id/news/index/2025/03/national-coffee-day-ipb-university-expert-reveals-major-challenges-in-indonesias-coffee-industry

[3] https://www.reuters.com/sustainability/climate-energy/indonesia-allows-resumption-international-carbon-trade-after-four-years-2025-10-15[4] https://www.oecd.org/content/dam/oecd/en/publications/reports/2025/09/oecd-economic-outlook-interim-report-september-2025_ae3d418b/67b10c01-en.pdf