Harga daging ayam kembali naik, dan seperti biasa, skena politik ikut memanas. Kita buru-buru mencari kambing hitam. Lembaga riset CELIOS menuding bahwa dapur umum MBG mendorong harga daging ayam naik dan menyingkirkan pedagang kecil. Tapi, mari kita analisis: benarkah MBG biang kerok kenaikan harga daging ayam, atau justru narasi ini adalah logika sesat?
Skala Permintaan MBG: Terlalu Kecil untuk Mengguncang Harga Pangan Nasional
Data Badan Pangan Nasional (NFA) memperkirakan kebutuhan MBG tahun 2025 sekitar 70 ribu ton daging ayam. Bandingkan dengan proyeksi produksi nasional tahun 2025, yaitu 3,8 juta ton daging ayam. Artinya, serapan MBG terhadap produksi nasional kurang lebih hanya 1.8%. Sulit menyimpulkan MBG sebagai satu-satunya pendorong utama kenaikan harga daging ayam nasional tanpa faktor lain yang lebih besar.
Biaya Pakan adalah Koentji
Dari perspektif ekonomi peternak, pakan is THE king. Harga pakan ayam menjadi komponen biaya terbesar dalam menghitung Harga Pokok Produksi (HPP). Biaya bahan baku pakan—terutama jagung dan bungkil kedelai—adalah komponen biaya terbesar dalam budidaya ayam ras pedaging. Berbagai kajian akademik menunjukkan, kenaikan harga jagung secara signifikan menaikkan biaya produksi, menekan margin peternak, dan akhirnya mendorong kenaikan harga daging ayam. Menyalahkan MBG dan mengabaikan siklus harga pakan ibarat menyalahkan barista atas kenaikan harga kopi di coffee shop ketika harga biji kopi dunia sedang naik.
Faktor Struktural: Volatilitas Harga, Musim, dan Logistik
Sesuai teori dasar ekonomi supply dan demand, harga daging ayam di Indonesia memang fluktuatif: naik menjelang hari raya, turun ketika pasokan berlebih, dan melonjak saat biaya logistik meningkat. Selain itu, penyakit unggas, biaya Sapronak (Sarana Produksi Ternak), hingga rantai distribusi yang panjang mempengaruhi volatilitas harga. Menyalahkan MBG atas kenaikan harga daging ayam berarti menutup mata terhadap faktor struktural yang jauh lebih kuat.
Solusinya: Perbaiki Implementasi MBG
CELIOS benar dalam satu hal: jika pengadaan MBG hanya memberi ruang pada pedagang besar, maka pedagang kecil akan sulit bersaing. Tetapi menghentikan MBG adalah solusi mudah yang tidak solutif. Alih-alih, MBG dapat level the playing field dengan membuka akses supply SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) kepada koperasi, UMKM, dan pasar lokal. Dengan desain inklusif, MBG justru dapat berkontribusi terhadap kestabilan permintaan pasar, mengurangi volatilitas harga, dan memperkuat ekosistem pangan nasional.
Intinya, Jangan Mudah Mengkambinghitamkan
Di tengah politik yang bising, mudah sekali menjadikan MBG sebagai kambing hitam kenaikan harga daging ayam. Padahal, mahalnya daging ayam bukanlah cerita baru: biaya pakan, logistik, siklus musiman, dan perubahan iklim sudah lama menjadi faktor utama. Jika analisis publik berhenti pada narasi sederhana “MBG bikin harga naik,” kita justru gagal melihat urgensi perbaikan mendasar untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.