evident.or.id

Refleksi HUT TNI: Bukan Rambo, Bukan Sambo

Published :

Section Title

No posts found.

Refleksi HUT TNI: Bukan Rambo, Bukan Sambo

Setiap peringatan hari lahir TNI, perdebatan muncul adalah “haruskah TNI kembali ke barak” atau “Dwifungsi TNI”. Di tengah arus deras kemajuan teknologi, diskursus ini semakin terdengar seperti kaset usang yang diputar berulang. Dunia bergerak cepat: ancaman keamanan tidak lagi hanya soal jumlah tank atau infanteri, melainkan serangan siber, kecerdasan buatan, dan ketahanan teknologi.

Perdebatan Lama yang Kehilangan Relevansi

Sejak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ditegakkan, tugas TNI sudah jelas: alat pertahanan negara dengan dua spektrum operasi—militer untuk perang, dan operasi militer selain perang (OMSP). OMSP mencakup kontra-terorisme, bantuan bencana, penjagaan perbatasan, sampai misi perdamaian dunia. Semua itu teknis dan operasional, bukan politik. Kerangka hukum ini sudah menegasikan nostalgia Dwifungsi TNI.

Revisi terbaru, UU No. 3 Tahun 2025, menambahkan dua mandat penting:

  1. Membantu penanggulangan ancaman pertahanan siber.
  2. Membantu melindungi WNI serta kepentingan nasional di luar negeri.

Ini adalah pengakuan bahwa lanskap ancaman Indonesia kini berada di domain siber dan global. Namun, revisi yang sama juga memperluas daftar lembaga sipil yang bisa diisi perwira aktif TNI—dari BNPB, BNPT, hingga Kejaksaan Agung. Langkah ini memicu kritik: jangan sampai kembali membuka pintu Dwifungsi terselubung.

Di saat kita masih memperdebatkan Dwifungsi TNI, negara lain sibuk membangun ekosistem inovasi pertahanan. NATO (North Atlantic Treaty Organisation) mendirikan Defence Innovation Accelerator for the North Atlantic (DIANA). Program ini bertujuan untuk mendorong akselerasi inovasi dan kolaborasi teknologi pertahanan dengan cara mengembangkan dual-use technology antara sipil dan militer untuk menjaga keamanan negara anggota NATO.

Amerika Serikat membentuk Defense Innovation Unit (DIU) sebagai jalur cepat agar teknologi komersial seperti drone, AI, IoT, dan sistem logistik berbasis teknologi lainnya bisa langsung digunakan oleh militer. The UK Defence Innovation (UKDI) menjadi wadah konsolidasi antara Ministry of Defence (MoD), Department for Business and Trade (DBT), Department for Science, Innovation and Technology (DSIT), UK Research and Innovation (UKRI) dan stakeholders terkait lainnya.

Kolaborasi The Alliance for Digital Transformation (ADX) Singapura antara GovTech, Ministry of Defence (MINDEF), dan Singapore Armed Forces menjadi contoh baru model kemitraan antara pemerintah, masyarakat sipil, dan militer.

Secara global, militer modern tidak lagi berebut panggung politik. Mereka justru jadi simpul inovasi yang merangkul masyarakat sipil, akademisi, dan industri untuk memperkuat resiliensi negara.

TNI di Persimpangan

Indonesia menghadapi pilihan: terus terjebak pada perdebatan lama, atau berjalan ke masa depan. Ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:

  • Unit inovasi: membentuk “DIU versi Indonesia” untuk mengintegrasikan dual-use technology (AI, drone, sensor maritim) dengan cepat dan tepat.
  • Akselerasi talenta siber: memobilisasi komunitas IT nasional sebagai bagian dari pertahanan siber Indonesia.
  • Akselerator publik–swasta: memperkuat kolaborasi dan koordinasi antara BUMN, universitas, dan startup agar riset pertahanan tidak berhenti di laboratorium.

Semua langkah ini memperkuat profesionalisme TNI tanpa terlibat di politik praktis.

Antara Rambo dan Sambo

Metafora sederhana ini artinya TNI tidak lagi menjadi Rambo di era 1980-an, di mana tentara digambarkan sebagai sosok macho, serba otot, dan individualis. Pertahanan modern membutuhkan tentara yang berpikir secara sistemis, berbasis data, dan bekerja dalam jejaring teknologi.

Di sisi lain, TNI juga tidak menjadi Sambo di mana kasus penyalahgunaan wewenang justru mencederai integritas TNI dan mempengaruhi kepercayaan publik. Indonesia membutuhkan TNI yang profesional, kolaboratif, dan inklusif—mampu bermitra dengan ilmuwan, insinyur, komunitas siber, hingga pelaku usaha untuk membangun ketahanan nasional.

Saat ini, militer dunia sudah bergerak maju. Perdebatan antara “kembali ke barak vs Dwifungsi” tidak lagi relevan. Armada nirawak, operasi berbasis AI, cadangan sipil-siber—semua itu bukan lagi teori.

Pertanyaannya kini: apakah TNI mampu menggeser fokus dari nostalgia Dwifungsi menuju lompatan inovasi, sekaligus menjaga profesionalisme berdasarkan prinsip demokrasi?

Pada ulang tahunnya yang ke-80, inilah refleksi yang sesungguhnya: TNI bukan Rambo, dan bukan Sambo, melainkan kekuatan yang profesional, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan abad ke-21.