Di linimasa X, Patriot Bond digambarkan sebagai sinetron politik: oligark baris rapi, rezim di panggung utama, dan uang sebagai tiket masuk lingkar kekuasaan. Cerita ini renyah, penuh insinuasi, dan mudah viral. Tapi narasi semacam ini sering kali berhenti pada kemarahan kolektif—tanpa menyentuh struktur ekonomi politik yang sebenarnya sedang dimainkan.
Mereka yang percaya perusahaan besar membeli obligasi dengan yield 2% karena cinta pada negara, jelas terlalu sering membaca dongeng ketimbang neraca keuangan. Secara matematis, Patriot Bond tidak masuk akal sebagai instrumen keuangan. Saat SBN lima tahun memberi imbal hasil 5–5,5%, membeli Patriot Bond berarti merelakan sekitar Rp 35 miliar per tahun untuk setiap Rp 1 triliun investasi. Tapi para konglomerat ini berada di level playing field yang berbeda. Mereka bukan sekadar membeli bond; mereka membeli prediktabilitas.
Dalam ekonomi politik Indonesia, sektor energi, tambang, telekomunikasi, pangan, properti, dan infrastruktur strategis dikuasai negara. Imbal hasil Patriot Bond bukan terletak pada angka kupon, tapi pada kalkulus ruang rapat: kepastian arah regulasi, akses ke proyek strategis, dan tentu saja sinyal politik bahwa mereka bagian dari ekosistem resmi, bukan penumpang gelap. Stabilitas dalam sistem seperti ini adalah komoditas. Dan komoditas selalu punya harga.
Pada titik ini, banyak orang berhenti pada kesimpulan sinis: “lihat, tekanan halus dari negara.” Padahal, yang lebih penting adalah memahami bahwa negara sedang mengelola kapitalisme untuk berkontribusi pada negara. Denmark melakukannya dengan memaksa pengembang membangun jalur bus dari pusat kota ke proyek mereka[1]. Negara-negara Nordik memaksa korporasi ikut mendanai kesejahteraan publik. Singapura melakukannya lewat zoning dan kepemilikan lahan. Tujuannya sama, untuk membuat korporasi ikut melayani kepentingan publik.
India pernah menerbitkan diaspora bond[2]. Amerika Serikat merilis Patriot Bond pasca-9/11. China, Turki, dan Rusia sudah lama mendorong korporasi domestik untuk ikut serta dalam pembiayaan prioritas negara. Bedanya hanya pada kosmetik dan siapa yang duduk di meja.
Apakah ada gravitasi politik? Tentu. Tapi menyederhanakan Patriot Bond jadi sekadar alat rezim adalah cara berpikir yang tidak adil. Tidak ada bukti paksaan eksplisit, dan lebih keliru lagi jika menganggap semua pembeli adalah loyalis.[3]
Patriot Bond bukan surat cinta. Alih-alih romantis, Patriot Bond adalah mekanisme untuk menyeimbangkan kapitalisme dan nasionalisme. Logikanya sederhana: “Kalau mau menikmati hasil pembangunan, ikut membiayainya.” Dalam negara dengan kapasitas fiskal tinggi, hal ini disebut kebijakan pembangunan. Dalam negara seperti Indonesia, mekanismenya berbeda tapi logikanya sama: negara sedang menegosiasikan kekuasaan dengan pemilik modal, bukan tunduk padanya.
Membeli Patriot Bond tidak membuat sebuah perusahaan lantas menjadi antek rezim. Kalau kita ingin memperbaiki mekanisme ekononomi dan politik, kita harus bicara tentang desain institusi, bukan sekadar gosip siapa yang beli obligasi.
Patriot Bond adalah kekuasaan yang sedang dinegosiasikan — dan untuk kali ini, negara tidak duduk di kursi penumpang.
[1] https://slks.dk/fileadmin/user_upload/kulturarv/english/dokumenter/Planning_Act_2007.pdf
[2] https://documents1.worldbank.org/curated/en/867801468165874505/pdf/wps4311.pdf[3] https://www.ft.com/content/543c2fb5-b447-4762-bccc-57ffcc54df39