Kalimat ini sering muncul di linimasa media sosial: “Gue bayar pajak, jadi gue berhak bersuara.”
Kalimat pendek, terdengar gagah, dan penuh keyakinan moral. Seolah membayar pajak memberi seseorang status istimewa untuk bicara lebih keras dari yang lain. Tapi di balik kepercayaan diri itu, ada logika oligarki yang tersembunyi.
Dalam demokrasi, hak untuk bersuara tidak datang dari seberapa besar seseorang membayar pajak. Hak itu lahir dari kewarganegaraan. Titik. Prinsip ini lahir dari sejarah panjang perjuangan melawan sistem politik yang dulu hanya memberi hak kepada mereka yang punya tanah atau cukup kaya untuk “membeli” akses politik. Demokrasi hadir justru untuk memutus hubungan antara uang dan hak politik, agar semua rakyat punya suara yang setara—tanpa terkecuali, tanpa pandang bulu.
Ironisnya, slogan “gue bayar pajak maka gue boleh ngomong” yang dimaksudkan sebagai perlawanan rakyat justru memperkuat posisi mereka yang membayar pajak paling besar: para konglomerat dan korporasi besar. Jika logika ini diterima, maka merekalah yang punya suara paling keras dan paling sah. Populisme ini, tanpa sadar, sedang menyerahkan panggung politik kepada oligarki—atas nama “hak bersuara.”
Inilah juxtaposition yang sering luput: mereka merasa sedang melawan kekuasaan, padahal sedang membangun argumen yang memperkuat kekuasaan itu sendiri. Jika hak bicara ditentukan oleh besarnya pajak, maka pemilik modal otomatis menjadi pemilik “megafon demokrasi”. Dalam negara dengan ketimpangan ekonomi seperti Indonesia, itu sama saja dengan berkata, “silakan para oligark bicara, kami cuma tepuk tangan.”
Faktanya, semua orang berkontribusi kepada negara—meski bentuknya berbeda-beda. Orang yang tidak membayar PPh pun ikut menyumbang lewat PPN, cukai, BBM, dan pungutan lainnya. Semua kontribusi itu dikumpulkan secara kolektif, bukan personal. Jadi membayar pajak bukan tiket emas untuk bersuara lebih keras. Dalam demokrasi, satu suara tetap satu suara—bukan satu rupiah satu suara.
Bahaya sesungguhnya dari logika “Gue bayar pajak, jadi gue berhak bersuara” bukan hanya keliru secara prinsip, tapi juga fatal secara politik. Kalimat ini mengubah demokrasi menjadi sistem pasar, di mana suara paling keras adalah suara mereka yang mampu membayar pengerasnya. Dan dalam sistem yang sudah timpang, hal ini justru memperkuat posisi oligarki.
Demokrasi lahir untuk memberikan hak bersuara sebagai hak konstitusional warga negara. Ketika hak politik diukur dari besar kecilnya pajak, demokrasi berubah menjadi panggung eksklusif bagi segelintir orang.
“I think therefore I am” adalah pernyataan tentang martabat manusia.
“I pay therefore I can” adalah pernyataan tentang hierarki.
Dan begitulah cara oligarki bekerja—dengan senyum tenang, tanpa perlu banyak bicara.